Entah sudah berapa belas atau bahkan dua puluhan tahun
lebih, pohon kelapa itu berdiri tegar di sudut pekarangan
bapakku. Yang aku ingat sejak aku masih SD sering
. Cabangnya yang banyak, meski tak
bisa dibilang rimbun sering dimanfaatkan oleh penjaja
keliling
atau siapa pun yang lewat untuk berteduh.
Bapakku sendiri tidak pernah tahu siapa penanam pohon
Kelapa itu, entah Kakek, entah tumbuh dengan sendirinya.
Yang diingatnya, waktu aku kelas 2 Sekolah Dasar, pernah
aku terjatuh sehingga cedera tulang tangan kiriku dan
menjadi
bengkok. Setelah dibawa ke dukun, selain terapi urut,
Bapak disarankan untuk membebat tanganku dengan kulit
kayu
kelapa yang besarnya sebanding dengan lenganku. Hal itu
pula
untuk pertama kalinya aku tersadar bahwa di sudut
pekarangan
Bapak telah tumbuh sebatang pohon kelapa. Waktu itu
tingginya
hampir sama dengan tinggi wuwungan atap rumah, dengan
beberapa cabang yang tumbuh ke segala arah mata angin dan
dihiasi dengan beberapa bunga dan bakal buah yang
mengering.
Bapak memotong salah satu cabangnya untuk dijadikan bebat
tanganku.
Entah berapa belas kali atau lebih dari dua puluhan kali,
setiap aku pulang ke kampung halaman, pohon kelapa itu
selalu
menjadi titik perhatianku. Karena begitu banyak arti pohon
itu
pada masa kecilku. Entah untuk bapakku, apakah pohon
kelapa
itu juga berarti untuknya. Yang aku tahu, meski sudah tua
dan
beberapa cabangnya mulai lapuk, pohon kelapa itu masih
kokoh
di sudut pekarangan.
Masih sering kulihat juga, penjaja keliling atau orang
lewat
yang sekedar berteduh di bawahnya. Bahkan tak jarang
beberapa
anak-anak muda dengan motor mereka berkumpul di bawah
pohon kelapa tua itu. Entah apa yang mereka percakapkan
di sana,
yang jelas pohon kelapa itu membuat mereka betah
berlama-lama bercanda dan tertawa-tawa di bawahnya. Meski
terkadang mereka harus merasakan sakitnya tertimpa bakal
buah kelapa yang berjatuhan.
Setiap musim hujan tiba, akan bermunculan kuncupkuncup
bunga di setiap cabangnya. Sangat banyak, karena
kadang cabang yang kecil tak kuat menahan beban oleh
banyaknya kuncup bunga. Kemudian akan patah, meski
tak sampai jatuh ke tanah. Semakin hari kuncup itu
semakin
membesar dan menggelembung. Tak semuanya memang. Tak
sedikit pula kelopak bunganya mengering dan berjatuhan.
Waktu kecilku dulu, kelopak-kelopak itu aku jadikan
mainan...
Dua kali lebaran terakhir aku pulang ke kampung halaman,
sudah banyak cabang-cabang kecil yang sudah mulai
mengering,
kemudian berjatuhan. Tak sedikit cabang-cabang kecil yang
berjatuhan itu menimpa orang-orang yang lewat di
bawahnya.
Pernah kuminta kepada bapaku untuk menebang pohon
Kelapa itu sebelum akhirnya membahayakan pejalan kaki,
karena
letaknya yang memang di pinggir jalan kecil kampung kami
yang dijadikan jalan ke kebun.
Bapak hanya mengiyakan, tapi sampai sekarang pohon kelapa
tua itu masih dengan gagahnya berdiri di sudut pekarangan
kami.
“Hari Senin Legi, pohon kelapa mau ditebang,” pesan
Bapak lewat telepon genggam kuterima seminggu lalu. Entah
tak berniat atau memang belum sempat, aku tak menghapus
pesan itu. Dan pesan itu pun memaksaku untuk pulang
kampung
lagi, meski baru dua bulan yang lalu aku pulang kampung.
Ingin
menyaksikan pohon kelapa bersejarah itu ditebang. Meski
tak
bersejarah bagi orang lain, setidaknya buatku sendiri, entah
buat
bapakku.
Kenapa mesti hari Senin Legi? Ah, Bapak memang masih
sangat memperhitungkan hari baik dan buruk untuk
melakukan
semua pekerjaan yang dianggapnya penting. Kebisaan orang
tua yang tidak pernah bisa aku mengerti. Tapi sejujurnya,
antara
percaya dan tidak, aku pun selalu ikut menaatinya.
Penting?
Berarti penebangan pohon kelapa itu terhitung hal yang
penting
juga menurut Bapak. Sampai harus menentukan hari buruk
dan
hari baiknya.
“kalau tidak salah Itu hari kelahiranmu, Nak.”
maklum bapak sudah sangat tua dan linglung.
“Dan pohon kelapa
itu seolah
sudah menyatu denganmu,” begitu suara Bapak lewat telepon
genggamku waktu aku tanyakan kepadanya, mengapa harus
hari yang disebutnya. Dan jawaban Bapak membuatku semakin
bingung, semakin tak mengerti, semakin tak paham. Pohon
kelapa
itu telah menyatu denganku? Ujung-ujungnya aku merasakan
ketakukan dan was-was yang tidak jelas penyebabnya. Ada
kekhawatiran, jangan-jangan akan terjadi hal-hal yang
tidak
kuinginkan setelah pohon kelapa itu ditebang.
“Waktu kamu lahir, Bapak tanam ari-arimu di bawah
pohon kelapa itu, dia memang belum sebesar sekarang,
tidak sekokoh dan segagah sekarang. Dulu, sebelum Bapak
tanamkan ari-arimu, pohon kelapa itu kelihatan gersang, tak
banyak daunnya seperti yang kamu lihat, tak pernah berbunga.
Kalaupun berbunga, akan segera berguguran, sehingga Bapak
tidak pernah bisa melihat buahnya seperti apa. Setelah Bapak
tanamkan ari-arimu, pohon kelapa itu menjadi lebih rimbun
dan bunganya jarang yang rontok sehingga Bapak bisa melihat
buahnya bergelantungan, hijau, kemudian menjadi cokelat,
abu-abu, menghitam, dan kemudian pecah menghamburkan
kapuknya di seluruh pekarangan. Bapak masih ingat waktu
kecilmu suka bermain dengan kulit kelapa yang kau jadikan
perahu yang kau mainkan di kali kecil di dekat ladang kita. Jika
malam mulai gelap,
kadang kulit kelapa itu kau isi dengan kapuk yang kau basahi
dengan minyak tanah dan kemudian kau nyalakan bersama
teman-temanmu, dan masih banyak lagi yang tidak bisa Bapak
ceritakan tentang pohon kelapa itu denganmu.”
Cerita Bapak membuatku mencoba kembali membuka
lembaran halaman masa kecilku, namun tak banyak yang
bisa kuingat. Apalagi tentang pohon kelapa itu. Yang paling
mendalam adalah peran pohon kelapa itu waktu aku mengalami
patah tulang tangan waktu kelas 2 Sekolah Dasar, tak ada yang
lebih. Bahkan secara batin pun tak ada ikatan yang berarti, selain
aku memang mengagumi pohon kelapa itu yang bisa bertahan
lebih dari tiga puluh tahun, tetap rimbun, tetap berbunga, dan
berbuah banyak. Sementara pohon-pohon randu yang sebaya,bahkan yang
lebih muda, mulai meranggas dan mulai enggan berbunga
Bapak :Riak Lilin Hidupku..
![]() |
| Add caption |






0 komentar:
Posting Komentar